Jumat, 12 November 2010

Tuntunan Ibadah Qurban



Kamis, 04 November 2010 08:45 Artikel
Ainul Yaqin*

Kata Qurban berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata qa-ru-ba ( قَرُبَ ) artinya dekat. Ibadah qurban adalah ibadah yang dilaksanakan pada waktu tertentu ya’ni pada hari Idul Adha yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan qurban dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam istilah fiqih hewan kurban disebut dengan istilah udh-hiyah ( أُضْحِيَّة ) yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik. Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah.

Dasar Pensyariatan Qurban

Ibadah qurban disyari’at sejak tahun ke dua hijriyah yang penetapannya didasarkan atas al-Qur’an dan al-hadits[1]. Di antar dalil al-Qur’an adalah surat al-Kautsar ayat 2:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”.

Yang dimaksud dengan nahr adalah penyembelihan binatang qurban.

Kemudian surat al-Hajj ayat 36:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.

Selanjutnya al-hadits yang menjelaskan masalah qurban sangat banyak antara lain sebagai berikut:

Hadits Anas ra berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا (رواه البخارى)

"Dari Anas ra dia berkata: Nabi Saw telah berqurban dengan dua ekor kambing gibas yang bulunya putih kehitaman keduanya, bertanduk keduanya, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau serta menyebut Asma Allah dan bertakbir dan meletakkan kaki beliau di atas belikat keduanya”.

Hadits Aisyah ra

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), Sesungguhnya korbannya itu di hari kiamat akan datang menyertainya dengan tanduk-tanduknya, bulunya dan kuku-kukunya. Dan darah qurban tersebut akan menetes di suatu tempat (yang diridlai) Allah sebelum menetes ke bumi, maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.[2]


Hukum Qurban

Terdapat perbedaan dikalangan para ulama perihal hukum berkurban. Mayoritas fuqaha menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah bagi mereka yang mampu. Tetapi Imam Abu Hanifah menyatakan hukumnya wajib setiap tahun bagi orang yang mampu dan berstatus mukim.[3]

Dalil yang dijadikan dasar tentang tidak wajibnya qurban, adalah hadits dari Ibnu Abbas berikut:

ثَلَاثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ الْوَتْرُ وَالنَّحْرُ وَصَلَاةُ الضُّحَى

“Ada tiga hal yang bagi kami adalah wajib sedangkan bagi kalian sunnah, yaitu; shalat witir, berkurban dan shalat dluha”(HR Ahmad No. 1946)

Dan hadits Ummu Salamah ra:

إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا

“Jika masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan adapadanya binatang sembelihan serta berkeinginan untuk berqurban, maka hendaklah ia tidak mencukur rambut dan tidak pula memotong kukunya.” (HR. Muslim)

Kata “berkeinginan berqurban”, menunjukkan qurban tidak wajib, sebab memungkinkan juga adanya orang yang tidak berkeinginan, padahal ia mampu.

Sementara itu, dalil yang menjadi pegangan Madzhab Abu Hanifah bahwa qurban hukumnya wajib adalah hadist Abu Hurairah sebagai berikut:



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا (رواه ابن ماجة)

“Dari Abu Hurairah ra sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami” (H.R. Ibnu Majah).

Di kalangan madzhab selain Hanafiyah, perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan, yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adha. Namun hal ini bukan celaan yang berat. Lagi pula, meninggalkan sholat Idul Adha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram.[4]

Kemudian di dalam mazhab Syafi’i.[5] dinyatakan bahwa qurban hukumnya sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga untuk setiap tahun, yang kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah melaksanakannya Dalil dari mazhab Syafi’i adalah:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً

“Hai sekalian manusia sesungguhnya diperintahkan atas tiap-tiap keluarga untuk melaksanakan qurban setiap tahun” (HR Al-Tirmidzi)

Dalam mazhab Syafi’i juga dinyatakan bahwa qurban bagi setiap individu adalah sunnah ‘ain (menjadi tanggungan individu) sekali dalam seumur hidup didasarkan atas kaidah umum:

الاصل فى الامر لا يقتضى التكرار

“Asal dari perintah tidak menuntut adanya perulangan”

Selanjutnya qurban bisa dihukumi wajib menurut jumhur ulama dalam keadaan dua hal;

1. Jika telah bernadzar untuk melakukan korban, sebagaimana hadis

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ

“Seseorang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, hendaklah ia melakukan ketaatan itu, dan jika ia bernadzar untuk bermaksiat maka janganlah melakukan maksiat” (HR al-Bukhari)

Karena korban merupakan sebuah amal yang baik, dan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah, maka para ulama’ sepakat apabila ada seorang muslim bernadzar untuk berqurban, maka wajib baginya untuk berqurban, baik ia dalam keadaan kaya atau miskin.

2. Jika telah berniat untuk melakukan korban. Menurut Imam Malik, seseorang yang membeli binatang dengan mengatakan, ini untuk korban (hadzihi udhiyatun) maka ia berkewajiban untuk melaksanakan niatnya itu.

Syarat Binatang Qurban

A. Jenis Binatang

Binatang yang dibolehkan untuk menjadi qurban adalah binatang ternak seperti onta, sapi, dan kambing atau domba. Boleh berqurban dengan binatang tersebut, baik jantan atau betina. Sebagian ulama membolehkan berqurban dengan kerbau (jamus), karena diqiyaskan dengan sapi[6]. Dalil ketentuan binatang ini adalah firman Allah surat al-Hajj ayat 34

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka,

B. Usia Binatang

Adapun usia binatang untuk qurban tersebut ditentukan untuk kambing adalah ketika sudah sempurna usia setahun dan memasuki tahun kedua, untuk sapi telah sempurna usia dua tahun dan masuk tahun ketiga, sedangkan unta telah sempurna usia lima tahun dan telah menginjak tahun keenam. Inilah yang disebut dengan musinnah sebagaimana hadits berikut;

عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ تَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ

“Dari Jabir, berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, akan tetapi jika kalian merasa berat hendaklah menyembelih kambing Al-Jadza’ah (HR. Ahmad).

Sedangkan yang dimaksud jadza’ah menurut pendapat jumhur ulama adalah kambing atau domba yang berumur tepat setahun. Tetapi ada yang berpendapat bahwa jadza’ah adalah anak kambing usia 6 bulan sampai satu tahun.

C. Kondisi Binatang Qurban

Kondisi binatang yang akan dibuat qurban hendaknya dipilihkan yang baik. Tidak syah berkurban dengan hewan yang cacat yang jelas kecacatannya seperti: kelihatan jelas penyakitan termasuk yang berpenyakit kudis, picak, pincang, terlampai kurus, rusak telinganya sehingga kelihatan jelas, dan patah tanduknya. Hal ini sebagaimana hadits Nabi:

أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى

“Ada empat penyakit yang dengannya qurban tidak memadai; picak yang nampak jelas, penyakitan yang nampak, yang pincang dan yang kurus tidak berlemak sama sekali” (HR Al-Tirmidzi)

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُضَحَّى بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ

“Rasulullah Saw melarang berqurban dengan hewan yang rusak tanduknya dan telingannya. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Tentang hewan yang dikebiri sejauh ini tidak ditemukan adanya larangan, meskipun sebenarnya ada cacat, khususnya dalam reproduksi, namun cacat dalam reproduksi ini tidak menyebabkan suatu binatang dilarang untuk dijadikan korban. Demikian juga dengan hewan yang ekornya buntung, masih ditoleransi sebagaimana hadits nabi:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ :اشْتَرَيْتُ أُضْحِيَّةً فَجَاءَ الذِّئْبُ فَأَكَلَ مِنْ ذَنَبِهَا أَوْ أَكَلَ ذَنَبَهَا فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ضَحِّ بِهَا

“dari Abu Said al-Khudri beliau berkata: Saya telah membeli seekro binatang qurban lalu ekornya atau sebagian ekornya dimakan serigala, maka aku tanyakan hal ini pada Raulullah Saw, belia menjawab; ‘berqurbanlah dengannya” (HR Ahmad)

Patungan Qurban

Para fuqaha bersepakat bahwa seekor kambing berlaku untuk satu orang. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang berdasarkan hadits berikut:[7]

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

“Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Kami telah berkurban bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyyah seekor onta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (HR at-Tirmidzi)

Namun berdasarkan madzhab Ahmad bin Hanbal dan juga madzhab Maliki seseorang dapat menyembelih seekor kambing, sapi, atau unta diniatkan untuk satu keluarga.[8] Hal ini disararkan atas hadits sebagai berikut:

عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتِ الضَّحَايَا فِيكُمْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَ كَمَا تَرَى

“Dari Atha’ bin Yasar dia berkata; aku bertanya pada Abu Ayyub al-Anshari perihal praktik qurban di masa Rasulullah Saw. Ia menjawab; Orang-orang di zaman nabi Saw berqurban dengan seekor kambing untuk keluarganya, mereka memakannya dan memberikan pada orang lain sampai manusia merasa senang, maka jadilah mereka seperti yang kalian lihat” (HR Ibnu Majah)

Saat ini ada tradisi di sekolah-sekolah, murid-murid iuran uang lalu dibelikan kambing, hal ini belum dapat dikategorikan qurban, tapi baik-baik saja bila dilihat dari sisi syi’ar Islam dan sekaligus untuk latihan qurban, dengan catatan sembelihannya harus memenuhi syarat-syarat penyembelihan yang benar. Akan lebih baik jika pihak sekolah menganjurkan kepada yang kaya untuk berqurban sendiri disamping mengkoordinir yang lain untuk iauran dengan maksud syi’ar dan latihan.

Waktu Penyembelihan

Waktu penyembelihan qurban adalah sesudah shalat Idul Adha sampai dengan akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adhha. Sabda Nabi Saw:

مَنْ ضَحَّى قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ

“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (HR Muslim)

Sabda Nabi Saw :

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad)

Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, kebanyakan ulama menghukumi makruh. Hal ini karena penyembelihan di malam hari dikhawatirkan peyembelihannya kurang sempurna karena penerangannya tidak mencukupi.[9]

Tata Cara Penyembelihan

Secara umum penyembelihan hewan qurban mengikuti tatacara penyembelihan hewan lainnya. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan penyembelihan menurut syariat Islam antara lain:

Pertama, Penyembelih adalah seorang muslim berakal sehat atau sudah tamyis, memahami ketentuan penyembelihan.

Orang gila, orang yang mabuk atau anak-anak yang belum bisa membedakan baik buruk (belum tamyis) sembelihannya tidak syah. Demikian juga sembelihan orang kafir. Sedang sembelihan orang perempuan menurut madzhab Maliki adalah makruh. Penyembelih juga harus memahami ketentuan penyembelihan. Orang yang tidak memahami tatacara penyembelihan mengkhawatirkan penyembelihannya tidak syah.

Kedua, alat yang digunakan menyembelih harus tajam, sehingga memungkinkan mengalirkan darah dan terputusnya tenggorokan.

Penyembelihan harus dilakukan dengan cepat dengan menggunakan pisau yang tajam. Makruh hukumnya menyembelih dengan alat yang kurang tajam sehingga menyakiti hewan.

اَمْرِ الدَمَّ بِمَا شِئْتَ وَاذْكُر اسمَ اللهِ عَلَيهِ ( رواه ابو داود)

“Alirkan darah dengan apa saja yang kau bisa lakukan dan sebutlah nama Allah atasnya”. (H.R. Abu Dawud)

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ (روه المسلم)

“Sesungguhnya Allah wewajibkan ihsan (berbuat baik) terhadap segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, maka lakukanlah dengan baik Dan apabila kamu menyembelih maka lakukanlah dengan baik. Dan hendaklah seorang dari kamu, menajamkan pisaunya dan hendaklah ia menyenangkan hewan sembelihannya”.(H.R. Muslim)

Tidak boleh memotong menggunakan kuku dan gigi.

روي عن الرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنّهُ قِيلَ لَهُ اَنَذْبَحُ بالمِرْوَة وشِقَّة العَصَا؟ فقال صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْجِلْ أَوْ أَرْنِي مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ

“Diriwayatkan dari Rosulullah Saw bahwasanya beliau pernah ditanya: ‘Apakah kami boleh menyembelinh dengan marwah (sejenis batu berkilat) dan dengan belahan tongkat?’ Rosulullah menjawab: ‘Percepatlah. Selama darah mengalirkan dan disebut nama Allah padanya, makanlah. Bukan dengan gigi dan kuku”.

Ketiga, memotong tenggorokan atau bagian leher dibawah pangkal kepala sehingga terputusnya tiga saluran: saluran nafas, jalan darah dan jalan makanan.

Tidak syah menyembelih hanya dengan melukai bagian luar dengan alat yang tidak tajam dan membiarkan hewan mati karena kehabisan darah. Demikian juga tidak syah menyembelih dengan pelan-pelan sehingga diperkirakan hewan lebih dulu mati sebelum sempurna penyembelihannya.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَرِيطَةِ الشَّيْطَانِ وَهِيَ الَّتِي تُذْبَحُ فَيُقْطَعُ الْجِلْدُ وَلَا تُفْرَى الْأَوْدَاجُ ثُمَّ تُتْرَكُ حَتَّى تَمُوتَ ( رواه ابو داود)

“Rosulullah melarang pita setan, yaitu memyembelih dengan cara memotong bagian kulit dan tidak memotong urat leher kemudian membiarkannya sampai mati”. (H.R. Abu Dawud)

Syarat memotong bagian leher tidak berlaku untuk hewan yang terperosok bagian kepala ke sebuah lubang sehingga tidak memungkinkan melakukan penyembelihan secara normal. Demikian juga hewan yang gagal disembelih dan lepas sehingga susah dilakukan penyembelihan. Untuk hal-hal seperti ini diberlakukan seperti binatang buruan.

إِنَّ لِهَذِهِ الْبَهَائِمِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَمَا فَعَلَ مِنْهَا هَذَا فَافْعَلُوا بِهِ هَكَذَا (رواه البخارى ومسلم)

“Sesungguhnya binatang-binatang ini mempunyai potensi menjadi garang sebagaimana yang dimiliki binatang liar. Karena itu jika ada diantara hewan-hewan berperilaku seperti binata liar ini, perlakukanlah dia seperti ini” (H.R. Bukhori dan Muslim)

Keempat, menyembelih dengan menyebut Nama Allah.

Menurut Imam Malik semua sembelihan yang tidak menyebut nama Allah adalah haram dimakan, demikian pula pendapat Ibnu Sirin dan golongan ahli kalam. Abu Hanifah berpendapat, jika tidak disebut nama Allah karena disengaja maka hukumnya haram, tetapi sekiranya lupa maka tetap halal, dengan syarat yang menyembelih adalah orang yang memenuhi syarat menurut hukum. Hal ini didasari oleh firman Allah.antara lain;

فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ

“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya”. (Q.S. Al An’am [6]:118)

Kelima, tidak menyebut nama selain Allah.

Syarat ini merupakan ijma’. Hal ini karena masyarakat jahiliyah melakukan taqorrub kepada tuhan-tuhan dan berhala-berhala mereka dengan melakukan penyembelihan atas namanya. Hal ini barangkali karena mereka menyembelih sebagai pengorbanan untuk berhala-berhala mereka. Karena itu Allah berfirman:

….وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ …….. وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ…..

“Dan yang disembelih atas nama selain Allah …..serta yang disembelih pada berhala-berhala” (Q.S. Al Ma’idah [5]: 3)

Keenam, hewan yang akan disembelih masih hidup.

Sebelum melakukan penyembelihan harus dipastikan bahwa hewan yang akan disebelih masih hidup. Indikasi masih hidup dapat dilihat dari adanya gerakan anggota tubuh atau gerakan nafas. Hal ini penting diperhatikan bagi penyembelihan menggunakan cara pemingsanan. Karena apabila hewan telah mati maka dihukumi bangkai dan penyembelihan yang dilakukan sudah tidak berguna lagi, artinya daging dari hewan tersebut tetap haram.

Ketujuh, tidak mematahkan leher atau mengulinya sebelum hewan benar-benar mati.


لاَ تَجْعَلُوا الاَ نْفُسَ قَبْلَ اَنْ تُزْهَقَ

“Janganlah terburu menghabisi nyawa sebelum ia pergi sendiri”. (H.R. Ad Daruquthni)

Etika Penyembilihan Qurban

Orang yang hendak berqurban, tidak diperbolehkan memotong kuku dan rambutnya sedikitpun (termasuk kumis, jenggot dan rambut yang lain), setelah masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga selesai penyembelihan. Hal ini didasarkan atas hadits berikut:

مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

“Barang siapa mempunyai binatang qurban dan akan melaksanakan qurban maka ketika telah masuk tanggal pertama bulan Dzulhijjah janganlah memotong rambutnya dan kukunya sampai saat selesai penyembelihan” (HR Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut sebagian ulama madzhab Syafi’i menghukumi haram dan Imam Syafi’i dan sebagain ulama Syafi’iyah yang lain menghukumi makruh memotong rambut dan kuku. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan tidak makruh. Dan sebaliknya madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali menghukumi perbuatan tidak mencukur rambut dan memotong sebagai perbuatan sunnah [10]

1. Disunnahkan menyembelih sendiri bagi yang mampu menyembelih, dan tidak boleh apabila penyembelihan dilakukan oleh selain muslim termasuk ahli kitab.[11]

2. Menghadap ke kiblat saat menyembelih demikian juga hewan sembelihannya. Untuk itu, posisi hewan dirobohkan, lambung kiri ada di bawah, sedangkan posisi kepala hewan ada disebelah kiri penyembelih.

3. Membaca basmalah dan takbir (Bismillahi Allaahu Akbar) kemudian membaca do’a Allahumma hadza minka wa laka anni fataqabbal (bila untuk menyembelih milik orang lain anni diganti an..nama orang..) hal ini didasarkan atas hadits berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ بِكَبْشَيْنِ فَقَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ (رواه ابن ماجة)

“Dari Jabir bin Abdillah dia berkata; Nabi Saw telah menyembelih qurban pada hari raya qurban berupa dua ekor gibas tatkala beliau telah menghadapkan wajah beliau ke kedua kambing tersebut beliau mengucapkan kalimat “inni wajjahtu.......”

Kemudian hadits berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي (رواه الترمذى)

“Dari Jabir bin Abdillah dia berkata; Aku bersama Nabi Saw s dua ekor gibas tatkala beliau telah menghadapkan wajah halat di mushalla, maka tatkala beliau selesai berkhutbah beliau turun dari mimbar dan menghampiri seekor kambing gibas, kemudia beliau menyembelih sendiri dengan tangan beliau sambil berdoa; bismillahi hadza anni wa amman lam yudlahha min ummati”

4. Jika tidak bisa menyembelih sendiri hendaknya ikut mengadiri dan menyaksikan penyembelihannya.

Pemanfaatan Hasil Sembelihan

Bagi pemilik hewan qurban disunnahkan makan daging qurbannya, menghadiahkan karib kerabatnya, bershadaqah pada fakir miskin, dan menyimpan sebagian dari dagingnya. Nabi Saw bersabda:

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا

“Makanlah, bershadaqahlah, dan simpanlah untuk perbekalan.” (HR.Bukhari Muslim).

Dalam hal ini kebanyakan ulama termasuk madzhab Syafi’i menetapkan bagian yang dikonsumsi sendiri adalah sepertiga bagian.

Dikecualikan dari hal di atas, qurban yang diniyati nadzar, atau telah diniati sebagai kurban dengan mengucapkan “hadzihi udhiyatun” dalam hal ini menurut madzhab Hanafi haram mengkonsumsi dagingnya demikian pula menurut madzhab Syafi’i dan wajib bagi yang bernadzar untuk mensedekahkan semua dagingnya. Namun, berdasarkan madzhab Maliki dan Hanbali mengkonsumsinya diperbolehkan.[12]

Kulit Qurban

Menurut kesepakatan para ulama daging qurban tidak boleh dijual. Sedangkan bagian-bagian yang lain seperti kulit menurut jumhur ulama juga tidak boleh dijual. Namun, jumhur ulama Tentang membolehkan kulit qurban diambil oleh orang yang berqurban dan boleh juga dihadiahkan kepada orang lain, tetapi tidak boleh dijual atau digunakan sebagai upah untuk tukang sembelih. Hal ini didasarkan atas hadits berikut:

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّةٍ فَلا أُضْحِيَّةَ لَهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; Barangsiapa menjual kulit binatang korbannya maka tidak ada (pahala) korban baginya (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)

Imam Abu Hanifah memperbolehkan menjual kulit tetapi tidak untuk diuangkan, namun harus dirupakan dalam bentuk barang yang bermanfaat.[13]

Hakikat Qurban

Hal yang telah disebutkan di atas pada dasarnya adalah ibadah qurban yang ditilik dari aspek formal atau dzahir dari ibadah yang sering disebut sebagai syari’at. Setiap ibadah pada dasarnya mengandung dua aspek yaitu aspek syari’at yaitu berupa ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah Saw. Diluar aspek syari’at formal terdapat aspek yang menjadi ruh ibadah yaitu aspek hakikat dari ibadah itu sendiri. Terhadap hal yang formal/syari’at kita wajib mengikuti tuntunan Rasulullah. Sedangkan kita dituntut juga mengejar hakikat dari ibadah yang sebenarnya niat kita yang ikhlas yang mencerminkan ketundukan dan kepasrahan kepada Allah. Ketundukan dan kepasrahan itulah pada hakikatnya yang akan diterima oleh Allah. Dalam hal ini Allah berfirman:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Hajj: 36)

Praktik inilah sebenarnya yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as bersama putranya Nabi Ismail as sebagaimana dialognya yang diabadikan dalam Al-Quran.

قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (al-Shaffat: 102)

Nabiyullah Ibrahim dan Ismail berhasil mengarungi ujian besar dengan sempurna, maka terujilah ketaqwaan beliau berdua.

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(106)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ(107)

Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (al-Shaffat: 106-107)

Penutup

Akhirnya semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan pada kita untuk dapat menjalankan ibadah dengan ikhlas karena-Nya . amiin.



DAFTAR PUSTAKA



1. al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, 2007

2. al-Nawawi, al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Bairut, 2004

3. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah (terjemahan), PT Al-Ma’arif, Bandung, 1987

4. Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid (terjemahan Imam Ghazali Said), Pustakan Amani Jakarta, 1995

5. Ibnu Khalil, ‘Atha`., Taysir al-Wushul Ila al-Ushul. Cetakan Ketiga. Darul Ummah, Beirut :. 2000

6. Al-Baijuri, al-Syeikh Ibrahim, Hasyiyah al-Baijuri ala Syarh Ibn Qasim al-Ghazi, Dar Ibnu ‘Ashhsashah, Bairut, 2005



* Sekretaris MUI Prof Jatim

[1] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2702

[2] HR Hakim, Ibn Majah, dan al-Tirmidzi, al-Tirmidzi menyebut hadits hasan Gharib

[3] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2703

[4] Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24

[5] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2705

[6] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2719

[7] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2724

[8] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2725

[9] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2715

[10] Syarah Muslim lin Nawawi Juz XIII/116, dan Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2735

[11] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2733

[12] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2739 dan 2742 lihat pula Hasyiyah al-Bayjuri juz 2 hal.450

[13] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2741 dan Bidayatul Mujtahid Jilid II/ hal430

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Jam

Tugas Siswa

Universitas Brawijaya

SMP Muhammadiyah

 

Copyright 2008 All Rights Reserved | Revolution church Blogger Template by techknowl | Original Wordpress theme byBrian Gardner