Sabtu, 20 November 2010

Semangat Berqurban*)

0 komentar


Hari Raya Idul Adha yang di dalamnya ada perintah berqurban telah kita lalui. Tetapi semangat dari nilai-nilai berqurban tentu masih melekat pada diri kita. Semangat ini harus kita jaga dan selalu kita perbaharuhi guna menjalaani bulan – bulan berikutnya.
Semangat berqurban tidak lepas dari tauladan yang telah dicontohkan Nabi Allah Ibrahim a.s dan putranya Ismail a.s, yang telah rela mengorbankan putra kesayangannya (Nabi Ibrahim a.s) dan nyawanya (Nabi Ismail a.s). Semua itu dilakukan karena ketaatan dan keikhlasannya serta kesabarannya kepada Allah. Ketaatan yang sebenarnya tanpa pengingkaran (apalagi tawar-menawar), keikhlasan yang sebenarnya tanpa embel-embel/pamrih setelah berqurban akan mendapatkan apa, kesabaran yang sebenarnya yaitu pasrah atas semua ketentuan Allah tanpa keluh kesah. Sebagaimana digambarkan Allah dalam Firman-Nya ( QS. Ash-Shaffat:100-107):

"Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang Termasuk orang-orang yang saleh.Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang Amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,
105. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar."


Sekarang bagaimana dengan kita sebagai seorang muslim? Sudahkah kita melaksanakan ibadah qurban tahun ini? Atau jika belum, sudah adakah niat untuk berqurban tahun depan? Atau jika belum mari kita simak kembali beberapa perintah Allah untuk berqurban berikut ini (QS. Al-Kautsar: 1-2):

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah."

Allah telah menganugerahi nikmat yang amat banyak kepada kita, bahkan jika kita menghitungnya tidak akan mampu, walau oleh seorang ahli matematika karena banyaknya nikmat yang telah diterima. Yang sering kita jadikan alasan adalah bahwa kita belum mampu, karena penghasilan kita masih kecil/sedikit. Padahal berkurban adalah perintah Allah zat yang Maha Kaya, zat yang Maha Tahu. Jika Allah telah menyuruh maka tidak mungkin Allah membiarkan orang-orang yang telah melaksanakan perintah-Nya, Allah lah yang akan menggantinya dengan nikmat yang lebih banyak dan lebih baik. Sekarang tinggal keyakinan kita sejauh mana kepada Allah.
Ada suatu kisah nyata, pada tahun 1998 yang lalu di Kauman Yogyakarta kami bertemu dengan sebuah keluarga yang sangat sederhana namun sangat bersahaja. Dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu, pekerjaannya sebagai tukang becak. Di depan rumah yang sederhana tadi terdapat 2 ekor kambing, yang ternyata kepunyaan keluarga tersebut untuk dikurbankan. Yang tidak kalah mengejutkan adalah bahwa keluarga ini berkurban setiap tahun. Sebagai kepala keluarga beliau menuturkan kepada kami, selama 11 bulan keluarga tersebut menyisihkan sebagian dari penghasilannya minimal Rp. 5.000 setiap harinya(11 bulan x 30 hari x Rp.5.000 = Rp. 1.650.000).
Jika tahun depan harga seekor kambing rata-rata Rp. 1.200.000, maka dengan menyisihkan penghasilan kita sebesar Rp. 4.000 perhari, insya ALLAH kita dapat berqurban seekor kambing (11 bulan x 30 hari x Rp. 4.000 = Rp. 1.320.000).
Semoga kisah tersebut menambah semangat kita untuk melaksankan salah satu perintah Allah, yaitu berqurban. Dan ingatlah bahwa Allah tidak pernah ingkar janji, janji Allah adalah benar sebagaimana firman-Nya(QS. At-Taubat:111), berikut ini.

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar."

Dan Allah akan menolong orang-orang yang akan menolong agama-Nya, sebagaimana firman-Nya, dalam Qur’an Surat Muhammad ayat 7 berikut ini.

"Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."

Sekarang tunggu apalagi…., mari kita rancang untuk berkurban tahun depan, dan rasakan nikmatnya berqurban…semoga.

*)Sabar Ahmad Sholikin; Malang,20 Nopember 2010
Readmore...

Jumat, 19 November 2010

Sistem Perbankan Syariah

0 komentar


Definisi Perbankan Syariah dapat diartikan sebagai suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

BEBERAPA PRINSIP/HUKUM YANG DIANUT OLEH SISTEM PERBANKAN SYARIAH ANTARA LAIN :

1. Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.

2. Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.

3. Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.

4. Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.

5. Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

SEJARAH PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA

Perbankan syariah di Indonesia, pertama kali dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta mendapat dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada saat krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1990,bank ini mengalami kesulitan sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.
Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).
Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.

Prinsip kerja bank syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Readmore...

Akhlak Rasulullah S.A.W

0 komentar


Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW


Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan
ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah
meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui
menemui Umar dan dia meminta, زceritakan padaku akhlak Muhammadس. Umar
menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia
menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan
permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun.
Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.


Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior
Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa
mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap
cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata,
زceritakan padaku keindahan dunia ini!.س Badui ini menjawab, زbagaimana
mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini...س Ali menjawab,
زengkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah
berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka,
lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah
berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS.
Al-Qalam[68]: 4)س


Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa
زKhumairahس oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qurصan (Akhlaknya
Muhammad itu Al-Qurصan). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu
bagaikan Al-Qurصan berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera
menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qurصan.
Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS
Al-Muصminun[23]: 1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya
dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan
air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka.
Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah
dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.


Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah
hanya menjawab, زah semua perilakunya indah.س ketika didesak lagi, Aisyah
baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. زKetika aku
sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit
kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, شYa Aisyah, izinkan aku untuk
menghadap Tuhanku terlebih dahulu.ص Apalagi yang dapat lebih membahagiakan
seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih
sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga
seorang utusan Allah.


Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang
subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka
pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan
pintu. Aisyah berkata, زmengapa engkau tidur di sini.س Nabi Muhammmad
menjawab, زaku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu
sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan
pintu.س Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita
terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, زberhati-hatilah kamu terhadap
isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.س Para
sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka
takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.


Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut
terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin
untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya
tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk
di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu
diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat
tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak
menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.


Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung
tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk
kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita
sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin
menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah
pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru
akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca
kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang
paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang
menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika
Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, زsyetan saja takut dengan
Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.س
Dalam riwayat lain disebutkan, زNabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu
gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para
sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (taصwil) mimpimu itu? Rasul menjawab
ilmu pengetahuan.س


Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi
dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya).
Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak
sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. زAku ini kota ilmu, dan Ali
adalah pintunya.س زbarang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang
munafik.س

Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya
sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik
berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan.
Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita
belum mengikuti sunnah Nabi.


Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun
sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qurصan Allah memanggil
para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika
memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan زWahai Nabiس. Ternyata
Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada
Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul
menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar
berkata: زAngkat Al-Qaصqa bin Maصbad sebagai pemimpin.س Kata Umar, زTidak,
angkatlah Al-Aqraص bin Habis.س Abu Bakar berkata ke Umar, زKamu hanya ingin
membantah aku saja,س Umar menjawab, زAku tidak bermaksud membantahmu.س
Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu
turunlah ayat: زHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha
Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu
dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap
sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya
(al-hujurat 1-2)


Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, زYa Rasul Allah, demi
Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti
seorang saudara yang membisikkan rahasia.س Umar juga berbicara kepada Nabi
dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar
banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para
sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket
berhadapan dengan Nabi.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar
Quraisy, Utbah bin Rabiصah. Ia berkata pada Nabi, زWahai kemenakanku, kau
datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau
kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan
kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang
dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami
jadikan engkau penguasa kamiس


Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau
membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi
bertanya, زSudah selesaikah, Ya Abal Walid?س زSudah.س kata Utbah. Nabi
membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat
sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai
menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana
Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita
mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak
Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang.
Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi
dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan
pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara
kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup
suara obrolan kita. Masya Allah!


Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah
yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke
Madinah setelah perginya N abi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang
sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan
isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang
pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui
Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? زKembalilah engkau ke
Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.س
Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung.
Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk
berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan
kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan
salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari
kita atau tidak.


Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para
sahabat, زMungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di
padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena
perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada
kalian, ucapkanlah!س Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat
yang tiba-tiba bangkit dan berkata, زDahulu ketika engkau memeriksa barisa
di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku
tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash
hari ini.س Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani
berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap زmembereskanس
orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke
rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi
meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah
pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu
setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.


Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan
bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, زlakukanlah!س
Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu
keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya
menangis, زSungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan
kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai
Rasulullah.س Seketika itu juga terdengar ucapan, زAllahu Akbarس
berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin
diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu
tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum
Allah memanggil Nabi.


Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan
sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena
khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang
kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha
Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang
muflis. Naصudzu billah.....


Nabi Muhammad ketika saat haji Wadaص, di padang Arafah yang terik, dalam
keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu
Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, زNanti di hari
pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi,
perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?س Para
sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan,
زBukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah
telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian,
bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku
sampaikan pada kalian wahyu dari Allah.....?س Untuk semua pertanyaan itu,
para sahabat menjawab, زbenar ya Rasul!س


Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, زYa Allah
saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!س. Nabi meminta
kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya
pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah.زYa Allah
saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu
dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang
indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin
dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa
kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi
kami. Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlahس
Readmore...

Rabu, 17 November 2010

Naufal Fadhlurrahman

0 komentar


Readmore...

Naufal Fadhlurrahman

0 komentar


Readmore...

Jumat, 12 November 2010

Tuntunan Ibadah Qurban

0 komentar


Kamis, 04 November 2010 08:45 Artikel
Ainul Yaqin*

Kata Qurban berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata qa-ru-ba ( قَرُبَ ) artinya dekat. Ibadah qurban adalah ibadah yang dilaksanakan pada waktu tertentu ya’ni pada hari Idul Adha yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan qurban dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam istilah fiqih hewan kurban disebut dengan istilah udh-hiyah ( أُضْحِيَّة ) yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik. Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah.

Dasar Pensyariatan Qurban

Ibadah qurban disyari’at sejak tahun ke dua hijriyah yang penetapannya didasarkan atas al-Qur’an dan al-hadits[1]. Di antar dalil al-Qur’an adalah surat al-Kautsar ayat 2:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”.

Yang dimaksud dengan nahr adalah penyembelihan binatang qurban.

Kemudian surat al-Hajj ayat 36:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.

Selanjutnya al-hadits yang menjelaskan masalah qurban sangat banyak antara lain sebagai berikut:

Hadits Anas ra berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا (رواه البخارى)

"Dari Anas ra dia berkata: Nabi Saw telah berqurban dengan dua ekor kambing gibas yang bulunya putih kehitaman keduanya, bertanduk keduanya, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau serta menyebut Asma Allah dan bertakbir dan meletakkan kaki beliau di atas belikat keduanya”.

Hadits Aisyah ra

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), Sesungguhnya korbannya itu di hari kiamat akan datang menyertainya dengan tanduk-tanduknya, bulunya dan kuku-kukunya. Dan darah qurban tersebut akan menetes di suatu tempat (yang diridlai) Allah sebelum menetes ke bumi, maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.[2]


Hukum Qurban

Terdapat perbedaan dikalangan para ulama perihal hukum berkurban. Mayoritas fuqaha menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah bagi mereka yang mampu. Tetapi Imam Abu Hanifah menyatakan hukumnya wajib setiap tahun bagi orang yang mampu dan berstatus mukim.[3]

Dalil yang dijadikan dasar tentang tidak wajibnya qurban, adalah hadits dari Ibnu Abbas berikut:

ثَلَاثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ الْوَتْرُ وَالنَّحْرُ وَصَلَاةُ الضُّحَى

“Ada tiga hal yang bagi kami adalah wajib sedangkan bagi kalian sunnah, yaitu; shalat witir, berkurban dan shalat dluha”(HR Ahmad No. 1946)

Dan hadits Ummu Salamah ra:

إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا

“Jika masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan adapadanya binatang sembelihan serta berkeinginan untuk berqurban, maka hendaklah ia tidak mencukur rambut dan tidak pula memotong kukunya.” (HR. Muslim)

Kata “berkeinginan berqurban”, menunjukkan qurban tidak wajib, sebab memungkinkan juga adanya orang yang tidak berkeinginan, padahal ia mampu.

Sementara itu, dalil yang menjadi pegangan Madzhab Abu Hanifah bahwa qurban hukumnya wajib adalah hadist Abu Hurairah sebagai berikut:



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا (رواه ابن ماجة)

“Dari Abu Hurairah ra sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami” (H.R. Ibnu Majah).

Di kalangan madzhab selain Hanafiyah, perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan, yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adha. Namun hal ini bukan celaan yang berat. Lagi pula, meninggalkan sholat Idul Adha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram.[4]

Kemudian di dalam mazhab Syafi’i.[5] dinyatakan bahwa qurban hukumnya sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga untuk setiap tahun, yang kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah melaksanakannya Dalil dari mazhab Syafi’i adalah:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً

“Hai sekalian manusia sesungguhnya diperintahkan atas tiap-tiap keluarga untuk melaksanakan qurban setiap tahun” (HR Al-Tirmidzi)

Dalam mazhab Syafi’i juga dinyatakan bahwa qurban bagi setiap individu adalah sunnah ‘ain (menjadi tanggungan individu) sekali dalam seumur hidup didasarkan atas kaidah umum:

الاصل فى الامر لا يقتضى التكرار

“Asal dari perintah tidak menuntut adanya perulangan”

Selanjutnya qurban bisa dihukumi wajib menurut jumhur ulama dalam keadaan dua hal;

1. Jika telah bernadzar untuk melakukan korban, sebagaimana hadis

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ

“Seseorang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, hendaklah ia melakukan ketaatan itu, dan jika ia bernadzar untuk bermaksiat maka janganlah melakukan maksiat” (HR al-Bukhari)

Karena korban merupakan sebuah amal yang baik, dan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah, maka para ulama’ sepakat apabila ada seorang muslim bernadzar untuk berqurban, maka wajib baginya untuk berqurban, baik ia dalam keadaan kaya atau miskin.

2. Jika telah berniat untuk melakukan korban. Menurut Imam Malik, seseorang yang membeli binatang dengan mengatakan, ini untuk korban (hadzihi udhiyatun) maka ia berkewajiban untuk melaksanakan niatnya itu.

Syarat Binatang Qurban

A. Jenis Binatang

Binatang yang dibolehkan untuk menjadi qurban adalah binatang ternak seperti onta, sapi, dan kambing atau domba. Boleh berqurban dengan binatang tersebut, baik jantan atau betina. Sebagian ulama membolehkan berqurban dengan kerbau (jamus), karena diqiyaskan dengan sapi[6]. Dalil ketentuan binatang ini adalah firman Allah surat al-Hajj ayat 34

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka,

B. Usia Binatang

Adapun usia binatang untuk qurban tersebut ditentukan untuk kambing adalah ketika sudah sempurna usia setahun dan memasuki tahun kedua, untuk sapi telah sempurna usia dua tahun dan masuk tahun ketiga, sedangkan unta telah sempurna usia lima tahun dan telah menginjak tahun keenam. Inilah yang disebut dengan musinnah sebagaimana hadits berikut;

عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ تَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ

“Dari Jabir, berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, akan tetapi jika kalian merasa berat hendaklah menyembelih kambing Al-Jadza’ah (HR. Ahmad).

Sedangkan yang dimaksud jadza’ah menurut pendapat jumhur ulama adalah kambing atau domba yang berumur tepat setahun. Tetapi ada yang berpendapat bahwa jadza’ah adalah anak kambing usia 6 bulan sampai satu tahun.

C. Kondisi Binatang Qurban

Kondisi binatang yang akan dibuat qurban hendaknya dipilihkan yang baik. Tidak syah berkurban dengan hewan yang cacat yang jelas kecacatannya seperti: kelihatan jelas penyakitan termasuk yang berpenyakit kudis, picak, pincang, terlampai kurus, rusak telinganya sehingga kelihatan jelas, dan patah tanduknya. Hal ini sebagaimana hadits Nabi:

أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى

“Ada empat penyakit yang dengannya qurban tidak memadai; picak yang nampak jelas, penyakitan yang nampak, yang pincang dan yang kurus tidak berlemak sama sekali” (HR Al-Tirmidzi)

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُضَحَّى بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ

“Rasulullah Saw melarang berqurban dengan hewan yang rusak tanduknya dan telingannya. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Tentang hewan yang dikebiri sejauh ini tidak ditemukan adanya larangan, meskipun sebenarnya ada cacat, khususnya dalam reproduksi, namun cacat dalam reproduksi ini tidak menyebabkan suatu binatang dilarang untuk dijadikan korban. Demikian juga dengan hewan yang ekornya buntung, masih ditoleransi sebagaimana hadits nabi:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ :اشْتَرَيْتُ أُضْحِيَّةً فَجَاءَ الذِّئْبُ فَأَكَلَ مِنْ ذَنَبِهَا أَوْ أَكَلَ ذَنَبَهَا فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ضَحِّ بِهَا

“dari Abu Said al-Khudri beliau berkata: Saya telah membeli seekro binatang qurban lalu ekornya atau sebagian ekornya dimakan serigala, maka aku tanyakan hal ini pada Raulullah Saw, belia menjawab; ‘berqurbanlah dengannya” (HR Ahmad)

Patungan Qurban

Para fuqaha bersepakat bahwa seekor kambing berlaku untuk satu orang. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang berdasarkan hadits berikut:[7]

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

“Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Kami telah berkurban bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyyah seekor onta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (HR at-Tirmidzi)

Namun berdasarkan madzhab Ahmad bin Hanbal dan juga madzhab Maliki seseorang dapat menyembelih seekor kambing, sapi, atau unta diniatkan untuk satu keluarga.[8] Hal ini disararkan atas hadits sebagai berikut:

عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتِ الضَّحَايَا فِيكُمْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَ كَمَا تَرَى

“Dari Atha’ bin Yasar dia berkata; aku bertanya pada Abu Ayyub al-Anshari perihal praktik qurban di masa Rasulullah Saw. Ia menjawab; Orang-orang di zaman nabi Saw berqurban dengan seekor kambing untuk keluarganya, mereka memakannya dan memberikan pada orang lain sampai manusia merasa senang, maka jadilah mereka seperti yang kalian lihat” (HR Ibnu Majah)

Saat ini ada tradisi di sekolah-sekolah, murid-murid iuran uang lalu dibelikan kambing, hal ini belum dapat dikategorikan qurban, tapi baik-baik saja bila dilihat dari sisi syi’ar Islam dan sekaligus untuk latihan qurban, dengan catatan sembelihannya harus memenuhi syarat-syarat penyembelihan yang benar. Akan lebih baik jika pihak sekolah menganjurkan kepada yang kaya untuk berqurban sendiri disamping mengkoordinir yang lain untuk iauran dengan maksud syi’ar dan latihan.

Waktu Penyembelihan

Waktu penyembelihan qurban adalah sesudah shalat Idul Adha sampai dengan akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adhha. Sabda Nabi Saw:

مَنْ ضَحَّى قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ

“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (HR Muslim)

Sabda Nabi Saw :

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad)

Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, kebanyakan ulama menghukumi makruh. Hal ini karena penyembelihan di malam hari dikhawatirkan peyembelihannya kurang sempurna karena penerangannya tidak mencukupi.[9]

Tata Cara Penyembelihan

Secara umum penyembelihan hewan qurban mengikuti tatacara penyembelihan hewan lainnya. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan penyembelihan menurut syariat Islam antara lain:

Pertama, Penyembelih adalah seorang muslim berakal sehat atau sudah tamyis, memahami ketentuan penyembelihan.

Orang gila, orang yang mabuk atau anak-anak yang belum bisa membedakan baik buruk (belum tamyis) sembelihannya tidak syah. Demikian juga sembelihan orang kafir. Sedang sembelihan orang perempuan menurut madzhab Maliki adalah makruh. Penyembelih juga harus memahami ketentuan penyembelihan. Orang yang tidak memahami tatacara penyembelihan mengkhawatirkan penyembelihannya tidak syah.

Kedua, alat yang digunakan menyembelih harus tajam, sehingga memungkinkan mengalirkan darah dan terputusnya tenggorokan.

Penyembelihan harus dilakukan dengan cepat dengan menggunakan pisau yang tajam. Makruh hukumnya menyembelih dengan alat yang kurang tajam sehingga menyakiti hewan.

اَمْرِ الدَمَّ بِمَا شِئْتَ وَاذْكُر اسمَ اللهِ عَلَيهِ ( رواه ابو داود)

“Alirkan darah dengan apa saja yang kau bisa lakukan dan sebutlah nama Allah atasnya”. (H.R. Abu Dawud)

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ (روه المسلم)

“Sesungguhnya Allah wewajibkan ihsan (berbuat baik) terhadap segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, maka lakukanlah dengan baik Dan apabila kamu menyembelih maka lakukanlah dengan baik. Dan hendaklah seorang dari kamu, menajamkan pisaunya dan hendaklah ia menyenangkan hewan sembelihannya”.(H.R. Muslim)

Tidak boleh memotong menggunakan kuku dan gigi.

روي عن الرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنّهُ قِيلَ لَهُ اَنَذْبَحُ بالمِرْوَة وشِقَّة العَصَا؟ فقال صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْجِلْ أَوْ أَرْنِي مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ

“Diriwayatkan dari Rosulullah Saw bahwasanya beliau pernah ditanya: ‘Apakah kami boleh menyembelinh dengan marwah (sejenis batu berkilat) dan dengan belahan tongkat?’ Rosulullah menjawab: ‘Percepatlah. Selama darah mengalirkan dan disebut nama Allah padanya, makanlah. Bukan dengan gigi dan kuku”.

Ketiga, memotong tenggorokan atau bagian leher dibawah pangkal kepala sehingga terputusnya tiga saluran: saluran nafas, jalan darah dan jalan makanan.

Tidak syah menyembelih hanya dengan melukai bagian luar dengan alat yang tidak tajam dan membiarkan hewan mati karena kehabisan darah. Demikian juga tidak syah menyembelih dengan pelan-pelan sehingga diperkirakan hewan lebih dulu mati sebelum sempurna penyembelihannya.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَرِيطَةِ الشَّيْطَانِ وَهِيَ الَّتِي تُذْبَحُ فَيُقْطَعُ الْجِلْدُ وَلَا تُفْرَى الْأَوْدَاجُ ثُمَّ تُتْرَكُ حَتَّى تَمُوتَ ( رواه ابو داود)

“Rosulullah melarang pita setan, yaitu memyembelih dengan cara memotong bagian kulit dan tidak memotong urat leher kemudian membiarkannya sampai mati”. (H.R. Abu Dawud)

Syarat memotong bagian leher tidak berlaku untuk hewan yang terperosok bagian kepala ke sebuah lubang sehingga tidak memungkinkan melakukan penyembelihan secara normal. Demikian juga hewan yang gagal disembelih dan lepas sehingga susah dilakukan penyembelihan. Untuk hal-hal seperti ini diberlakukan seperti binatang buruan.

إِنَّ لِهَذِهِ الْبَهَائِمِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَمَا فَعَلَ مِنْهَا هَذَا فَافْعَلُوا بِهِ هَكَذَا (رواه البخارى ومسلم)

“Sesungguhnya binatang-binatang ini mempunyai potensi menjadi garang sebagaimana yang dimiliki binatang liar. Karena itu jika ada diantara hewan-hewan berperilaku seperti binata liar ini, perlakukanlah dia seperti ini” (H.R. Bukhori dan Muslim)

Keempat, menyembelih dengan menyebut Nama Allah.

Menurut Imam Malik semua sembelihan yang tidak menyebut nama Allah adalah haram dimakan, demikian pula pendapat Ibnu Sirin dan golongan ahli kalam. Abu Hanifah berpendapat, jika tidak disebut nama Allah karena disengaja maka hukumnya haram, tetapi sekiranya lupa maka tetap halal, dengan syarat yang menyembelih adalah orang yang memenuhi syarat menurut hukum. Hal ini didasari oleh firman Allah.antara lain;

فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ

“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya”. (Q.S. Al An’am [6]:118)

Kelima, tidak menyebut nama selain Allah.

Syarat ini merupakan ijma’. Hal ini karena masyarakat jahiliyah melakukan taqorrub kepada tuhan-tuhan dan berhala-berhala mereka dengan melakukan penyembelihan atas namanya. Hal ini barangkali karena mereka menyembelih sebagai pengorbanan untuk berhala-berhala mereka. Karena itu Allah berfirman:

….وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ …….. وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ…..

“Dan yang disembelih atas nama selain Allah …..serta yang disembelih pada berhala-berhala” (Q.S. Al Ma’idah [5]: 3)

Keenam, hewan yang akan disembelih masih hidup.

Sebelum melakukan penyembelihan harus dipastikan bahwa hewan yang akan disebelih masih hidup. Indikasi masih hidup dapat dilihat dari adanya gerakan anggota tubuh atau gerakan nafas. Hal ini penting diperhatikan bagi penyembelihan menggunakan cara pemingsanan. Karena apabila hewan telah mati maka dihukumi bangkai dan penyembelihan yang dilakukan sudah tidak berguna lagi, artinya daging dari hewan tersebut tetap haram.

Ketujuh, tidak mematahkan leher atau mengulinya sebelum hewan benar-benar mati.


لاَ تَجْعَلُوا الاَ نْفُسَ قَبْلَ اَنْ تُزْهَقَ

“Janganlah terburu menghabisi nyawa sebelum ia pergi sendiri”. (H.R. Ad Daruquthni)

Etika Penyembilihan Qurban

Orang yang hendak berqurban, tidak diperbolehkan memotong kuku dan rambutnya sedikitpun (termasuk kumis, jenggot dan rambut yang lain), setelah masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga selesai penyembelihan. Hal ini didasarkan atas hadits berikut:

مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

“Barang siapa mempunyai binatang qurban dan akan melaksanakan qurban maka ketika telah masuk tanggal pertama bulan Dzulhijjah janganlah memotong rambutnya dan kukunya sampai saat selesai penyembelihan” (HR Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut sebagian ulama madzhab Syafi’i menghukumi haram dan Imam Syafi’i dan sebagain ulama Syafi’iyah yang lain menghukumi makruh memotong rambut dan kuku. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan tidak makruh. Dan sebaliknya madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali menghukumi perbuatan tidak mencukur rambut dan memotong sebagai perbuatan sunnah [10]

1. Disunnahkan menyembelih sendiri bagi yang mampu menyembelih, dan tidak boleh apabila penyembelihan dilakukan oleh selain muslim termasuk ahli kitab.[11]

2. Menghadap ke kiblat saat menyembelih demikian juga hewan sembelihannya. Untuk itu, posisi hewan dirobohkan, lambung kiri ada di bawah, sedangkan posisi kepala hewan ada disebelah kiri penyembelih.

3. Membaca basmalah dan takbir (Bismillahi Allaahu Akbar) kemudian membaca do’a Allahumma hadza minka wa laka anni fataqabbal (bila untuk menyembelih milik orang lain anni diganti an..nama orang..) hal ini didasarkan atas hadits berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ بِكَبْشَيْنِ فَقَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ (رواه ابن ماجة)

“Dari Jabir bin Abdillah dia berkata; Nabi Saw telah menyembelih qurban pada hari raya qurban berupa dua ekor gibas tatkala beliau telah menghadapkan wajah beliau ke kedua kambing tersebut beliau mengucapkan kalimat “inni wajjahtu.......”

Kemudian hadits berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي (رواه الترمذى)

“Dari Jabir bin Abdillah dia berkata; Aku bersama Nabi Saw s dua ekor gibas tatkala beliau telah menghadapkan wajah halat di mushalla, maka tatkala beliau selesai berkhutbah beliau turun dari mimbar dan menghampiri seekor kambing gibas, kemudia beliau menyembelih sendiri dengan tangan beliau sambil berdoa; bismillahi hadza anni wa amman lam yudlahha min ummati”

4. Jika tidak bisa menyembelih sendiri hendaknya ikut mengadiri dan menyaksikan penyembelihannya.

Pemanfaatan Hasil Sembelihan

Bagi pemilik hewan qurban disunnahkan makan daging qurbannya, menghadiahkan karib kerabatnya, bershadaqah pada fakir miskin, dan menyimpan sebagian dari dagingnya. Nabi Saw bersabda:

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا

“Makanlah, bershadaqahlah, dan simpanlah untuk perbekalan.” (HR.Bukhari Muslim).

Dalam hal ini kebanyakan ulama termasuk madzhab Syafi’i menetapkan bagian yang dikonsumsi sendiri adalah sepertiga bagian.

Dikecualikan dari hal di atas, qurban yang diniyati nadzar, atau telah diniati sebagai kurban dengan mengucapkan “hadzihi udhiyatun” dalam hal ini menurut madzhab Hanafi haram mengkonsumsi dagingnya demikian pula menurut madzhab Syafi’i dan wajib bagi yang bernadzar untuk mensedekahkan semua dagingnya. Namun, berdasarkan madzhab Maliki dan Hanbali mengkonsumsinya diperbolehkan.[12]

Kulit Qurban

Menurut kesepakatan para ulama daging qurban tidak boleh dijual. Sedangkan bagian-bagian yang lain seperti kulit menurut jumhur ulama juga tidak boleh dijual. Namun, jumhur ulama Tentang membolehkan kulit qurban diambil oleh orang yang berqurban dan boleh juga dihadiahkan kepada orang lain, tetapi tidak boleh dijual atau digunakan sebagai upah untuk tukang sembelih. Hal ini didasarkan atas hadits berikut:

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّةٍ فَلا أُضْحِيَّةَ لَهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; Barangsiapa menjual kulit binatang korbannya maka tidak ada (pahala) korban baginya (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)

Imam Abu Hanifah memperbolehkan menjual kulit tetapi tidak untuk diuangkan, namun harus dirupakan dalam bentuk barang yang bermanfaat.[13]

Hakikat Qurban

Hal yang telah disebutkan di atas pada dasarnya adalah ibadah qurban yang ditilik dari aspek formal atau dzahir dari ibadah yang sering disebut sebagai syari’at. Setiap ibadah pada dasarnya mengandung dua aspek yaitu aspek syari’at yaitu berupa ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah Saw. Diluar aspek syari’at formal terdapat aspek yang menjadi ruh ibadah yaitu aspek hakikat dari ibadah itu sendiri. Terhadap hal yang formal/syari’at kita wajib mengikuti tuntunan Rasulullah. Sedangkan kita dituntut juga mengejar hakikat dari ibadah yang sebenarnya niat kita yang ikhlas yang mencerminkan ketundukan dan kepasrahan kepada Allah. Ketundukan dan kepasrahan itulah pada hakikatnya yang akan diterima oleh Allah. Dalam hal ini Allah berfirman:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Hajj: 36)

Praktik inilah sebenarnya yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as bersama putranya Nabi Ismail as sebagaimana dialognya yang diabadikan dalam Al-Quran.

قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (al-Shaffat: 102)

Nabiyullah Ibrahim dan Ismail berhasil mengarungi ujian besar dengan sempurna, maka terujilah ketaqwaan beliau berdua.

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(106)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ(107)

Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (al-Shaffat: 106-107)

Penutup

Akhirnya semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan pada kita untuk dapat menjalankan ibadah dengan ikhlas karena-Nya . amiin.



DAFTAR PUSTAKA



1. al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, 2007

2. al-Nawawi, al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Bairut, 2004

3. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah (terjemahan), PT Al-Ma’arif, Bandung, 1987

4. Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid (terjemahan Imam Ghazali Said), Pustakan Amani Jakarta, 1995

5. Ibnu Khalil, ‘Atha`., Taysir al-Wushul Ila al-Ushul. Cetakan Ketiga. Darul Ummah, Beirut :. 2000

6. Al-Baijuri, al-Syeikh Ibrahim, Hasyiyah al-Baijuri ala Syarh Ibn Qasim al-Ghazi, Dar Ibnu ‘Ashhsashah, Bairut, 2005



* Sekretaris MUI Prof Jatim

[1] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2702

[2] HR Hakim, Ibn Majah, dan al-Tirmidzi, al-Tirmidzi menyebut hadits hasan Gharib

[3] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2703

[4] Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24

[5] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2705

[6] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2719

[7] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2724

[8] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2725

[9] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2715

[10] Syarah Muslim lin Nawawi Juz XIII/116, dan Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2735

[11] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2733

[12] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2739 dan 2742 lihat pula Hasyiyah al-Bayjuri juz 2 hal.450

[13] Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2741 dan Bidayatul Mujtahid Jilid II/ hal430
Readmore...

Arsip Blog

Jam

Tugas Siswa

Universitas Brawijaya

SMP Muhammadiyah

 

Copyright 2008 All Rights Reserved | Revolution church Blogger Template by techknowl | Original Wordpress theme byBrian Gardner